Pelaku bisnis pasti hapal dengan istilah ini: first hand...tangan pertama. Dalam lingkup bisnis yang disebut tangan pertama biasanya adalah perusahaan. Itu jika skalanya besar. Lalu bagaimana dengan industri rumahan? Siapakah tangan pertamanya?
Sebenarnya, industri rumahan juga menyangkut kami-kami yang menjual perhiasan dan aksesoris mutiara di Sekarbela. Proses produksi di rumah: mulai dari yang membuat kerajinan emas, atau merangkai gelang mutiara tawar, atau sekedar memasang mutiara pada rangka rhodium, sebagian besar memang berbasis di rumah.
Siklusnya pun jelas berputar: perusahaan peternak, perusahaan pelelangan, pembeli besar, toko, reseller, konsumen. Itu hanya tentang mutiaranya saja. Belum tentang siklus pembuatan rangka emas dan perak. Belum tentang rangka produksi pabrik, dll.
Jika seperti itu...siapa kah tangan pertamanya? Boleh saya sebut: tidak ada. Tidak ada tangan pertama yang sebenarnya dalam siklus bisnis seperti ini. Karena semua berputar dan saling membutuhkan. Lalu jika tiba-tiba ada sebuah toko online mutiara mengklaim dirinya sebagai tangan pertama, mungkin perlu belajar sendiri menambang emas dan perak, mencetak rangka rhodium, menernakkan mutiara, dan sebagainya. Tidak ada tangan pertama. Sebuah toko besar pun butuh suplier untuk menyediakan barang. Pun pabrik pembuatan butuh pemasok bahan baku.
Saya rasa, berhentilah mencari tangan pertama...namun carilah penjual dengan harga yang menyenangkan...tidak sekedar murah. Karena toko dengan kualitas indah meski agak mahal tetap tidak akan membuat menyesal. Berbeda dengan yang menjual murah namun kualitas seadanya, mungkin orang akan berpikir dulu untuk belanja berkali-kali.
Tidak mengapa, meski bukan tangan pertama, teruslah berbenah agar semakin amanah....insyaAllah :)
12 Desember 2015
28 November 2015
Pahlawan Kota Higgly
Sudah akhir November. Semoga saya masih tidak terlambat untuk merayakan semangat Hari Pahlawan, 10 November. Tidak lama berselang, kemudian perayaan Hari Guru. Seolah memang disandingkan ===> Guru adalah (juga) Pahlawan.
Selamat Hari Pahlawan.
Selamat Hari Guru.
Saya langsung ingat acara kartun yang kadang ditonton anak-anak saya: Higgly's Heroes. Pahlawan Kota Higgly.
Kartun yang biasa saja, tapi yang menarik adalah bahwa mereka sangat menghargai setiap orang dgn menyebut orang-orang itu sebagai Pahlawan Kota.
Anak-anak lapar, butuh makanan yang siap antar. Datanglah pembawa makanan dengan sepeda motor. Anak-anak menyebutnya: Pahlawan Kota Higgly.
Lalu penjaga pintu tol, melayani pengendara keluar-masuk tol: Pahlawan Kota Higgly juga. Pembuat topi, membuat topi untuk melindungi anak-anak dari panas matahari: Pahlawan Kota Higgly.
Semua profesi, yang bersungguh-sungguh dengan pekerjaannya adalah pahlawan bagi mereka. Tukang kebun, pekerja pengaspal jalan, guru, nahkoda kapal, sopir taksi, dan semuanya...adalah pahlawan.
Mereka tidak pergi berperang ke medan laga, tapi mereka pun berjuang demi kehidupan yang lebih baik bagi sesama: itulah Pahlawan, bagi saya. Berjuang di jalan Allah. Bukankah seperti itu pula yang Baginda Rasul Muhammad saw. katakan pada kita? Seorang suami yang pergi bekerja, lillaahi ta'aala untuk mencari nafkah halal bagi keluarganya pun juga dikatakan berjuang? Istri yang mengurus segala keperluan rumah juga berjuang.
Maka mari berterima kasih dengan penghargaan terbesar untuk semua pahlawan dan guru-guru kehidupan di sekitar kita. Yang mengajarkan tentang ketulusan mengabdi tanpa memandang sertifikasi ataupun gratifikasi. Mereka pahlawan sesungguhnya: ibu-ibu kita, bapak-bapak kita, saudara seperjuangan meski tak sedarah, para buruh pabrik, karyawan kantor, cleaning service, pedagang asongan, tukang ojek, guru daerah terpencil, dokter dan perawat, ibu-ibu bidan, petani, nelayan, dan seluruh profesi yang bersinergi sepenuh hati....tidak bisa saya sebut semua di sini. Terima kasih...pahlawan yang juga tidak pernah diberi tanda jasa. Semoga selalu sehat dan bahagia...Allahumma aamiin..
Selamat Hari Pahlawan.
Selamat Hari Guru.
Saya langsung ingat acara kartun yang kadang ditonton anak-anak saya: Higgly's Heroes. Pahlawan Kota Higgly.
Kartun yang biasa saja, tapi yang menarik adalah bahwa mereka sangat menghargai setiap orang dgn menyebut orang-orang itu sebagai Pahlawan Kota.
Anak-anak lapar, butuh makanan yang siap antar. Datanglah pembawa makanan dengan sepeda motor. Anak-anak menyebutnya: Pahlawan Kota Higgly.
Lalu penjaga pintu tol, melayani pengendara keluar-masuk tol: Pahlawan Kota Higgly juga. Pembuat topi, membuat topi untuk melindungi anak-anak dari panas matahari: Pahlawan Kota Higgly.
Semua profesi, yang bersungguh-sungguh dengan pekerjaannya adalah pahlawan bagi mereka. Tukang kebun, pekerja pengaspal jalan, guru, nahkoda kapal, sopir taksi, dan semuanya...adalah pahlawan.
Mereka tidak pergi berperang ke medan laga, tapi mereka pun berjuang demi kehidupan yang lebih baik bagi sesama: itulah Pahlawan, bagi saya. Berjuang di jalan Allah. Bukankah seperti itu pula yang Baginda Rasul Muhammad saw. katakan pada kita? Seorang suami yang pergi bekerja, lillaahi ta'aala untuk mencari nafkah halal bagi keluarganya pun juga dikatakan berjuang? Istri yang mengurus segala keperluan rumah juga berjuang.
Maka mari berterima kasih dengan penghargaan terbesar untuk semua pahlawan dan guru-guru kehidupan di sekitar kita. Yang mengajarkan tentang ketulusan mengabdi tanpa memandang sertifikasi ataupun gratifikasi. Mereka pahlawan sesungguhnya: ibu-ibu kita, bapak-bapak kita, saudara seperjuangan meski tak sedarah, para buruh pabrik, karyawan kantor, cleaning service, pedagang asongan, tukang ojek, guru daerah terpencil, dokter dan perawat, ibu-ibu bidan, petani, nelayan, dan seluruh profesi yang bersinergi sepenuh hati....tidak bisa saya sebut semua di sini. Terima kasih...pahlawan yang juga tidak pernah diberi tanda jasa. Semoga selalu sehat dan bahagia...Allahumma aamiin..
Categories
Coretan Ringan
05 Oktober 2015
Bahagia itu....
Selamat malam pemirsa...
Saya sedang senang berkebun. Meskipun 90% orang terdekat yang tau kesenangan baru saya ini sangsi bahwa hobi ini akan bertahan lama. Katanya: paling hitungan minggu.
Well, akan kita buktikan...meski dengan Naufal dan Lulu yang antusias mengobrak-abrik karung tanah kompos yang saya beli...saya akan bertahan. Haha...
Bermula dari perasaan iba melihat pohon lengkeng saya yang sudah berdomisili hampir dua tahun di depan rumah, kondisinya sedikit "mengenaskan" dibandingkan ketika dia datang pertama kali dua tahun lalu. Pohonnya pendek namun rimbun daun hijau, segar melihatnya. Sekarang amat tinggi dan ramping, kering, dengan beberapa helai daun coklat yg tidak berselera hidup mungkin. Kasihan..
Lalu ada pohon pakis yang dibeli suami saya, mahal menurut saya. Sama tidak terawatnya. Belum lagi pohon sirih yang di pojok depan....dan beberapa pot kering yang tidak ada tanamannya.
Maka suatu sore di sebuah perumahan...saya keluar membawa ember berisi air, membawa pisau, dan tidak lupa membawa dua pasukan kecil saya untuk ikut serta. Menyiram. Membantu saya mengumpulkan rumput liar. Saya potong semua daun-daun pakis yang sudah layu. Begitu juga pot-pot lain. Lengkeng. Bunga. Dan semuanya saya siangi rumput liarnya. Disiram teratur.
Suami saya agak heran. Ada apa dengan istriku??? Mendadak aneh. Hehehe...saya hanya berpikir...mereka makhluk hidup...butuh makan dan matahari. Mengapa tidak saya rawat dwngan baik? Lagipula saya yang mendatangkan mereka ke rumah saya. Perkara nanti bisa hidup bagus atau tidak kan urusan kedua. Yang penting saya sudah berusaha merawatnya.
Tak lama....setelah dua minggu rutin disiram...pakis yang sudah hampir mati itu pun bertunas lagi. Alhamdulillaaah..bahagia itu sederhana. Haha..
Lalu lengkeng bertunas juga. Lalu tanaman bunga perdu di pagar mulai berbunga. Senangnya hatiiii...
Maka berlanjutlah hobi itu dengan membibitkan bunga dari benih. Saya belum tau hasilnya...namun akan saya pantau terus perkembangannya. Keep istiqomah...insyaa Allaah :)
Categories
Coretan Ringan
23 September 2015
Empat yang Telah Berlalu
22 September...empat tahun yang lalu, saya dinikahkan oleh yang tersayang Bapak, dengan lelaki terbaik: Fadlulloh, suami saya.
Lalu pagi ini..kami bangun dengan lupa bahwa ini tanggal yg sama dengan empat tahun lalu. Sibuk dengan rutinitas: mengurus anak, mengurus rumah, dan sebagainya. Siang baru sadar dan ingat.
Tidak ada anniversary-cake. Tidak ada lilin yang ditiup. Tidak ada kado yang berbungkus merah muda.
Namun bukankah semua sudah lebih dari cukup?
Hati yang nyaman.
Tiga anak yang aktif.
Kesehatan yang baik.
Tempat tinggal yang layak.
Makanan yang cukup.
Pakaian yang bersih.
Waktu yang bermanfaat, insyaAllah.
Setelah saya pikir...adakah kado lain yang lebih indah dari itu di dunia ini???
Ke Baitullah. Semoga segera diundang kesana ya...Yaa Allah :)
Selamat Hari Raya Idul Adha, saudara muslimku di seluruh dunia. Semoga Allah merahmati hidup dan mati kita...aamiin..
Tidak ada anniversary-cake. Tidak ada lilin yang ditiup. Tidak ada kado yang berbungkus merah muda.
Namun bukankah semua sudah lebih dari cukup?
Hati yang nyaman.
Tiga anak yang aktif.
Kesehatan yang baik.
Tempat tinggal yang layak.
Makanan yang cukup.
Pakaian yang bersih.
Waktu yang bermanfaat, insyaAllah.
Setelah saya pikir...adakah kado lain yang lebih indah dari itu di dunia ini???
Ke Baitullah. Semoga segera diundang kesana ya...Yaa Allah :)
Selamat Hari Raya Idul Adha, saudara muslimku di seluruh dunia. Semoga Allah merahmati hidup dan mati kita...aamiin..
Categories
Coretan Ringan
18 September 2015
Bermain dengan Uang
Kenapa sie akhir-akhir ini Rini jadi rajin bahas duit ?? Sebenernya bukan akhir-akhir ini sie...pembahasan duit itu udah ada sejak jaman dahulu kala. Tapi sekarang makin kenceng bahasannya berhubung lagi banyak yang nguber duit...dengan segala macam cara yang gak pernah terpikir di jaman dulu.
Dulu...orang dapet duit halal tu cuma lewat kerja dan niaga. Ada beberapa yang dapat warisan, atau bagi hasil usaha. Namun asal muasalnya sudah jelas: ini uangku...aku memperolehnya sebagai gaji atas kerja selama sekian..sekian....
Sekarang...kekhawatiran atas "ketidakpunyaannya akan uang" ketika tidak bekerja semakin menjadi momok yang mau tidak mau akhirnya menjadikan segelintir orang 'cerdas' untuk bermain di sana.
Kenal moneygame lah ya? Saya gak. Hahaha...cuma tau-tau aja sedikit. Lalu MLM? Tau juga. Lalu frase-frase sekelas: aset, passive income, jaringan...tau? Iya tau... Itu kan intinya duit tetep ngalir meski tidak bekerja. Tiduran di rumah...transferan masuk. Jalan-jalan ke mol...gak bawa duit...eh ada bonus di rekening...belanja dah kita.
Saudara saya yang baik hatinya,
Kalau realitanya semacam itu...ya ada beberapa yang masuk di akal saya. Ada yang tidak. Kalo didenger sama orang MLM nanti saya kena sindir: "masuk akal? Gak! Masuk kantong? Iya."
Jika kita pelaku bisnis yang sudah membawahi beberapa karyawan, punya cabang, lalu tanpa bekerja kita hanya memantau di rumah...insyaAllah dana mengalir dan kita sudah tau jelas...ini sekian dari hasil sekian.
Saya bukan orang yg anti-MLM lho ya...bagaimanapun...dlm kehidupan kita: membangun jaringan itu adalah amat sangat penting. Cuma sekarang kok makin banyak yang berkedok MLM padahal jelas-jelas bukan!
Pokoknya supaya cepat kaya. Itu deh. Ya saya juga pengen keleeuuss.. Tapi coba deh, jelasin ke saya..dgn akal saja..sesederhana menjelaskan pada anak SD bahwa: bagaimana saya bisa mendapatkan hasil 100jt dalam 2 bulan hanya dengan mendaftar nominal 7 angka saja...hanya dengan bermodal pamer rekening, gonta-ganti dp..dll...yang menurut saya..tidak pernah sama sekali menonjolkan "produk" nya??
Hey!!! Pernah dong!
Oke saya salah, bukan tidak pernah, tapi -jarang-.
So, bagaimana? Kan katanya jualan juga. Lha yang dijual apa sie? Jual rekening apa jual produk.
Maaf ya, bagi saya...MLM yang sebenarnya adalah yang jelas: jelas produknya, ya yang djual adalah barang itu. Jelas keuntungannya utk setiap kali transaksi, misal keuntungan 10% dari harga barang.
Seumpama...harga barang hanya 100rb...lalu jika ada orang lain yang bergabung maka saya akan dapat 200rb. Kira-kira masuk akal gak ya?
Ya masih tetap dalam pandangan saya...orang-orang MLM sejati maka akan berusaha sebisa mungkin menawarkan produknya agar laku. Agar orang belanja. Tidak terlalu peduli orang mau ikut bergabung sbg member atau tidak. Karena mereka tetap mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut meski orang yang membeli bukanlah membernya. Kalau tambah member, alhamdulillaah...kalau hanya belanja juga gak masalah. Tapi...kalau orangnya ngotot nambah-nambah member tanpa jelas apa yang sebenarnya dijual...cuma pamer-pamer rekening saja...itu yang agak membingungkan. Kira-kira perputaran dana dan passive income sebesar itu datangnya darimana? Mari dipikirkan seksama. Jangan sampai....ada uang-uang orang yang sebenarnya bukan hak kita tapi malah kita terima tanpa sadar...
Wallahu'alam.. :)
Ya masih tetap dalam pandangan saya...orang-orang MLM sejati maka akan berusaha sebisa mungkin menawarkan produknya agar laku. Agar orang belanja. Tidak terlalu peduli orang mau ikut bergabung sbg member atau tidak. Karena mereka tetap mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut meski orang yang membeli bukanlah membernya. Kalau tambah member, alhamdulillaah...kalau hanya belanja juga gak masalah. Tapi...kalau orangnya ngotot nambah-nambah member tanpa jelas apa yang sebenarnya dijual...cuma pamer-pamer rekening saja...itu yang agak membingungkan. Kira-kira perputaran dana dan passive income sebesar itu datangnya darimana? Mari dipikirkan seksama. Jangan sampai....ada uang-uang orang yang sebenarnya bukan hak kita tapi malah kita terima tanpa sadar...
Wallahu'alam.. :)
Categories
Sharing Bisnis
01 September 2015
Pembeli adalah Raja???
Bismillaah...semakin marak saja proses jual-beli online sekarang ini. Aktif. Bergerak dan terus berinovasi. Saya senang melihat perkembangan teman-teman di sekitar yang sudah mulai membuka toko online mereka masing-masing. Benar-benar terbukti: di mana ada kemauan...di sana Allah memberi jalan.
Tidak harus menunggu mampu menyewa ruko baru berani membuka usaha. Tidak harus bermodal besar sampai pinjam sana-sini untuk bisa berkarya. Asal mau, maka kemungkinan untuk bisa akan terbuka lebih lebar.
Tentu saja, semua orang ingin melihat lebih banyak sanak saudaranya yang bisa mandiri. Berhasil. Berdaya saing. Senang melihat orang senang, susah melihat orang susah...bukan malah sebaliknya... Insyaa Allah..
Namun memang tidak semua orang ditakdirkan mahir berniaga. Ada yg memang hanya ahli bekerja sebagai pegawai. Ada yang memang pandai sebagai pengajar. Disuruh berjualan, pasti tidak akan bisa. Sebagaimana menyuruh koki menjahit baju...semua ada keahliannya masing-masing.
Lalu yang berniaga, selalu ingin memberi pelayanan terbaik kepada konsumennya. Kualitas terbaik. Harga masuk akal dan masuk kantong. Maka tidak jarang terdengar motto: pembeli adalah raja.
Benarkah begitu? Benar akan memperlakukan pembeli selayaknya raja? Karena apa? "Ya karena mereka belanja pada kita".
Hmmm...begitu...lalu kalau tidak belanja maka bukan siapa-siapa?
Maaf, saya agak tidak sejalan.
Pembeli adalah raja. Penjual adalah raja. Karyawan adalah raja. Pak kurir adalah raja. Semua kita adalah raja-raja yang mestinya diperlakukan sama. Kalau bermotto seperti itu, maka bisa disebut: yang berduit adalah raja, lainnya bukan.
Lalu kita hanya akan berlaku baik pada yang berduit saja. Yang tidak berduit, nanti dulu ya...anda bukan siapa-siapa. Lalu menjadi pembenaran bagi kita untuk ngomel-ngomel tanpa arah pada kurir hanya karena paketan belanjaan kita yang mereka bawa rusak. Lalu membuat kita harus diprioritaskan oleh penjual karena kita sudah memberi mereka uang. Lalu membolehkan kita marah-marah pada karyawan karena mereka tertukar kirim paket. Lalu apa esensi raja sebenarnya bagi kita? Uang. Lalu apa bedanya kita dengan para materialis pinggiran? Tidak ada.
Berlakubaiklah...tanpa memandang itu siapa. Karena uang bukanlah faktor penentu utama. Saling menghargai sewajarnya. Penjual menghormati pembeli sewajarnya. Pembeli pun seperti itu...karena simbiosisnya mutualisme. Dua arah. Bahkan keberhasilan proses jual beli online tidak hanya melibatkan dua pihak saja kan? Harus ada suplier yang amanah, karyawan yang rajin, kurir yang jujur, dan pembeli yang berbudi. Dan keseluruhnya itu juga adalah raja...perlakukan mereka dengan sama baiknya, meski tidak secara langsung memberi anda uang. Karena rejeki dari Allah adalah tentang ketentraman hati. Jika banyak uang namun hobi mencaci-maki dan dengki...kira-kira bisa kita sebut dapat rejeki gak ya? Dapat uang sih sudah pasti.
Wallahu'alam.
Tidak harus menunggu mampu menyewa ruko baru berani membuka usaha. Tidak harus bermodal besar sampai pinjam sana-sini untuk bisa berkarya. Asal mau, maka kemungkinan untuk bisa akan terbuka lebih lebar.
Tentu saja, semua orang ingin melihat lebih banyak sanak saudaranya yang bisa mandiri. Berhasil. Berdaya saing. Senang melihat orang senang, susah melihat orang susah...bukan malah sebaliknya... Insyaa Allah..
Namun memang tidak semua orang ditakdirkan mahir berniaga. Ada yg memang hanya ahli bekerja sebagai pegawai. Ada yang memang pandai sebagai pengajar. Disuruh berjualan, pasti tidak akan bisa. Sebagaimana menyuruh koki menjahit baju...semua ada keahliannya masing-masing.
Lalu yang berniaga, selalu ingin memberi pelayanan terbaik kepada konsumennya. Kualitas terbaik. Harga masuk akal dan masuk kantong. Maka tidak jarang terdengar motto: pembeli adalah raja.
Benarkah begitu? Benar akan memperlakukan pembeli selayaknya raja? Karena apa? "Ya karena mereka belanja pada kita".
Hmmm...begitu...lalu kalau tidak belanja maka bukan siapa-siapa?
Maaf, saya agak tidak sejalan.
Pembeli adalah raja. Penjual adalah raja. Karyawan adalah raja. Pak kurir adalah raja. Semua kita adalah raja-raja yang mestinya diperlakukan sama. Kalau bermotto seperti itu, maka bisa disebut: yang berduit adalah raja, lainnya bukan.
Lalu kita hanya akan berlaku baik pada yang berduit saja. Yang tidak berduit, nanti dulu ya...anda bukan siapa-siapa. Lalu menjadi pembenaran bagi kita untuk ngomel-ngomel tanpa arah pada kurir hanya karena paketan belanjaan kita yang mereka bawa rusak. Lalu membuat kita harus diprioritaskan oleh penjual karena kita sudah memberi mereka uang. Lalu membolehkan kita marah-marah pada karyawan karena mereka tertukar kirim paket. Lalu apa esensi raja sebenarnya bagi kita? Uang. Lalu apa bedanya kita dengan para materialis pinggiran? Tidak ada.
Berlakubaiklah...tanpa memandang itu siapa. Karena uang bukanlah faktor penentu utama. Saling menghargai sewajarnya. Penjual menghormati pembeli sewajarnya. Pembeli pun seperti itu...karena simbiosisnya mutualisme. Dua arah. Bahkan keberhasilan proses jual beli online tidak hanya melibatkan dua pihak saja kan? Harus ada suplier yang amanah, karyawan yang rajin, kurir yang jujur, dan pembeli yang berbudi. Dan keseluruhnya itu juga adalah raja...perlakukan mereka dengan sama baiknya, meski tidak secara langsung memberi anda uang. Karena rejeki dari Allah adalah tentang ketentraman hati. Jika banyak uang namun hobi mencaci-maki dan dengki...kira-kira bisa kita sebut dapat rejeki gak ya? Dapat uang sih sudah pasti.
Wallahu'alam.
13 Agustus 2015
Bendera
Sejak beberapa hari yang lalu suami sya heboh sendiri tanya-tanya bendera.
"Rin, udah tanggal sekian...belum ada bendera?"
"Gak ada hubby, kita gak pernah punya. Beli aja yg baru."
Memang, tahun-tahun sebelumnya kami tidak pernah sempat memasang bendera di rumah. Entah karena apa juga tidak terlaksana. Akhirnya, jadilah kemarin sore suami saya membeli sebuah bendera baru yang menurut dia harganya "kok mahal ya? Dua puluh lima ribu..." Hahaha...saya langsung komen: "ya wajar segitu...bendera itu dari 2 kain...lha jilbab tipis dari 1 kain aja hrganya ada yang 50rb ke atas.." secara kami juga tidak pernah tau perkembangan harga bendera..hehehe.
Setelah lama muter2 di dalam rumah...akhirnya dapatlah suami saya sesuatu yang bisa dipakai sebagai tiang. Gantungan kayu panjang sekitar 1.2m yang rencananya akan ditaruh depan pagar rumah. Bendera diikat di sana, taruh di samping bagian atas tiang listrik persis d pagar rumah kami, lalu....
"Rin, atur sedikit bendera itu dong, kurang tinggi kayaknya.."
"Yaa..apalagi saya yang cuma segini, side (sampean dlm bahasa Jawa) yang tinggi aja ndak jongkoq (nyampe). Biarin aja dah kayak gitu...bendera setengah tiang."
"Eeehh..nanti dikira berduka.."
"Iya saya lagi berduka untuk Indonesia." Jawab saya dari dapur sambil nyuci beras. Malas.
Sejujurnya kita memang tidak pernah benar-benar merdeka. Huh...pembodohan.
"Rin, udah tanggal sekian...belum ada bendera?"
"Gak ada hubby, kita gak pernah punya. Beli aja yg baru."
Memang, tahun-tahun sebelumnya kami tidak pernah sempat memasang bendera di rumah. Entah karena apa juga tidak terlaksana. Akhirnya, jadilah kemarin sore suami saya membeli sebuah bendera baru yang menurut dia harganya "kok mahal ya? Dua puluh lima ribu..." Hahaha...saya langsung komen: "ya wajar segitu...bendera itu dari 2 kain...lha jilbab tipis dari 1 kain aja hrganya ada yang 50rb ke atas.." secara kami juga tidak pernah tau perkembangan harga bendera..hehehe.
Setelah lama muter2 di dalam rumah...akhirnya dapatlah suami saya sesuatu yang bisa dipakai sebagai tiang. Gantungan kayu panjang sekitar 1.2m yang rencananya akan ditaruh depan pagar rumah. Bendera diikat di sana, taruh di samping bagian atas tiang listrik persis d pagar rumah kami, lalu....
"Rin, atur sedikit bendera itu dong, kurang tinggi kayaknya.."
"Yaa..apalagi saya yang cuma segini, side (sampean dlm bahasa Jawa) yang tinggi aja ndak jongkoq (nyampe). Biarin aja dah kayak gitu...bendera setengah tiang."
"Eeehh..nanti dikira berduka.."
"Iya saya lagi berduka untuk Indonesia." Jawab saya dari dapur sambil nyuci beras. Malas.
Sejujurnya kita memang tidak pernah benar-benar merdeka. Huh...pembodohan.
Langganan:
Postingan (Atom)