26 Mei 2009
Ada Tamu
Semasa kita kecil dulu adalah lazim ketika ada tamu yang datang anak-anak yang masih kecil diminta oleh orangtuanya untuk "tidak mengganggu" dan tidak main di ruang depan, tidak ikut nimbrung di ruang tamu, jangan berisik atau minta uang jajan.
Kelihatannya sederhana dan kita bisa membusungkan dada membenarkan diri, "Kami memang orang timur, tahu budaya sopan santun." Sering terjadi anak tidak diberi tahu mengapa tidak boleh bermain di depan dan lebih baik duduk manis di belakang. Alih-alih diberi tahu, yang sering malah anak dijewer apabila tidak menurut setelah tamu pulang.
Pesan yang diterima anak bisa bermacam-macam, antara lain bahwa tamunya orang penting dan si anak sendiri merasa bukan sesuatu atau bukan orang yang dianggap penting. Bisa juga si anak dinggap hanya membuat problem saat tamu datang jika bermain di ruang depan, atau ikut nimbrung di ruang depan.
Oleh karena seringnya anak tidak diberi tahu mengapa ritual seperti itu dilakukan, anak tumbuh menjadi orang yang lebih aman apabila berada di ruang belakang atau di tempat-tempat yang tidak dapat dilihat dengan jelas kehadirannya atau sosoknya.
Kebiasaan ini tanpa sadar terus dipupuk dan dibawa menjadi nilai saat kita menjadi dewasa. Kita merasa tidak enak, merasa risih, kalau harus duduk di barisan depan pada saat seminar untuk umum, pada saat ibadah, atau pada saat pertemuan umum lainnya. Bahkan untuk tempat yang kita bayar untuk pelatihan misalnya, sering sekali dua baris terdepan dari ruang seminar pada umumnya kosong dan lengang.
Merasa tidak enak duduk di depan, tanpa tahu mengapa perasaan tidak enak itu muncul, tanpa sadar mengapa kok rasanya lebih afdol kalu bisa duduk di sektor belakang dan bahkan merasa sebuah kebenaran bahwa memang tempat duduk yang paling nyaman baginya adalah barisan belakang. Saat ditanya mengapa lebih suka dan nyaman duduk di belakang, maka rasio definisinya mulai bekerja dan menjelaskan filosofi bahwa yang duduk di baris depan itu adalah VIP, itu untuk tamu, itu untuk pimpinan, dan berbagai macam argumentasi "logis" lainnya.
Ada baiknya kita berhenti sejenak dan bertanya dalam diri, mengapa ya rasanya kok saya lebih sreg duduk di baris belakang? Rasanya jauh lebih nyaman kalau duduk di belakang dan sosok saya tidak terlihat jelas.
Lebih sering terjadi kita mengeluarkan argumentasi dan fantasi pembenaran, toh saya bisa mendengar dengan jelas walaupun duduk di belakang, atau "fantasi iman" daripada nanti disuruh pindah ke belakang karena duduk di depan, kan malu? Sebuah percakapan diri yang lebih banyak tampul sebagai fantasi dan pembenaran diri daripada kenyataan sebenarnya.
Categories
Motivasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar